ARTICLE AD BOX
Ogoh-ogoh ini pada Kamis (13/3/2025) siang sudah mendarat di Puspem Badung untuk berlomba sebagai Ogoh-Ogoh Terbaik Kabupaten Badung. Dalam perjalanan menempuh 12 jam, ogoh-ogoh ini juga menyita perhatian masyarakat.
Apalagi karya para pemuda Bualu ini menyandang status Nominasi 1 dalam Lomba Ogoh-Ogoh Zona 7 Kuta Selatan, mengungguli puluhan peserta lainnya. Ketua Panitia Ogoh-ogoh, I Putu Krisna Kusuma Wijaya (19), menyampaikan bahwa "Kalisangara" bukan sekadar visualisasi horor, tetapi representasi dari benturan antara sifat adharma (kegelapan) dan dharma (kebaikan) yang terjadi dalam kehidupan manusia.
“Kalisangara kami tafsirkan sebagai simbol dari kekacauan batin manusia—nafsu, ego, dan keserakahan—yang harus dilawan menjelang Nyepi, hari penyucian lahir dan batin,” ungkap Krisna kepada NusaBali.com.
Ogoh-ogoh setinggi sekitar 5 meter ini menampilkan tujuh tokoh karakter yang mewakili unsur kegelapan dari berbagai mitologi dan imajinasi kreatif. Namun alih-alih mengandalkan unsur seram semata, tim kreatif menekankan keseimbangan antara bentuk artistik, filosofi, dan teknologi.
Karya "Kalisangara" dibangun dengan bahan ramah lingkungan, seperti bambu dan ulatan, menggantikan penggunaan gabus yang kini mulai ditinggalkan. Tidak hanya itu, unsur teknologi robotik juga diintegrasikan dalam mekanisme gerak tokoh Ogoh-ogoh.
“Ini adalah bentuk akulturasi antara pakem budaya Bali dengan perkembangan zaman. Kami tidak melupakan akar tradisi, tapi kami juga berani berinovasi,” jelas Krisna.
Dengan anggaran mencapai Rp200 juta, ST Yowana Pratyaksa menegaskan bahwa karya tersebut bukan untuk pamer kekuatan finansial, tetapi demi mempersembahkan karya terbaik. “Ini bukan soal siapa paling besar, tapi bagaimana makna dari Ogoh-ogoh itu sendiri bisa sampai ke masyarakat, bahkan wisatawan. Ini seni, ini pesan budaya,” tambahnya.
Filosofi "Kalisangara" juga diyakini mampu menyentuh nilai spiritual dan edukatif, terutama bagi generasi muda. Bahwa pertarungan sejati bukan hanya di medan laga, tapi dalam mengendalikan diri dari sifat-sifat destruktif yang tumbuh dalam kehidupan sehari-hari.
“Ogoh-ogoh ini kami harapkan bisa menginspirasi masyarakat untuk melakukan evaluasi diri menjelang Nyepi, dan pemuda-pemuda Banjar lainnya agar tetap menjaga nilai gotong royong dan harmoni antarsekaa teruna,” pungkas Krisna.
Lebih dari sekadar selebrasi, mereka berharap karya ini bisa menjadi kontribusi positif bagi pariwisata dan pelestarian budaya Bali. *m03